Untold Story #1 : Kenangan Bersama Aspal
Masa-masa di bangku sekolah adalah masa yang terhitung cukup menyenangkan bagiku. Layaknya remaja pada umumnya, dulu aku juga pernah ingin selalu mencoba banyak hal baru, mengunjungi tempat-tempat yang sedang hits, dan bergaul dengan orang-orang terkenal di sekolah. Namun, hal-hal itu pada kenyataannya tak dapat dengan mudah aku lakukan. Selain karena kepribadianku yang introvert, aku juga berusaha menaati pesan-pesan dari orang tuaku saat itu untuk selalu berhati-hati dalam bergaul dan memilih teman.
Ya, orang tuaku terbilang cukup “strict” dalam mendidik anak. Alhasil, temanku saat itu sangatlah sedikit, dapat dihitung jari saja. Sebenarnya itu bukanlah masalah besar bagiku karena aku pun tetap bisa merasa nyaman di rumah dan baik-baik saja tanpa teman yang banyak, setidaknya begitulah caraku berpikir saat itu.
Cara berpikir itu tampaknya semakin goyah seiring berjalannya waktu. Puncaknya ialah ketika aku kelas 8 SMP, tepatnya sekitar awal tahun 2016. Aku mulai merasa sangat iri dengan teman-teman yang terlihat mudah untuk keluar rumah. Mereka pergi mengunjungi banyak tempat bersama. Aku juga ingin merasakan itu.
Sebelumnya aku sangat malas untuk mengurus perizinan keluar rumah karena sungguh sangat susah ditembus. Dengan rasa takut, kali ini aku mencoba meminta izin pada orang tuaku untuk pergi jalan-jalan bersama teman-temanku di hari libur. Dan ya, seperti prediksi sebelumnya, tidak diizinkan. Teman-temanku pun mempunyai ide untuk langsung saja datang menjemputku. Aku jelas tidak menyetujui ide itu karena pasti akan sia-sia. Namun, mereka benar-benar datang ke rumahku dan meminta izin langsung pada orang tuaku. Ya, betul! Hasil akhirnya sama, tidak diizinkan. Entah mendapat ide dari mana, aku seketika memasang wajah dengan raut memelas kemudian dengan nada putus asa aku berkata, “Kasian sekali teman-temanku ini, sudah datang jauh-jauh kesini, tapi tidak jadi jalan-jalan hanya karena satu orang.”
Ajaib! Setelah melihat wajah memelas dan mendengar kata-kataku, orang tuaku pun mengizinkanku pergi dengan syarat tidak boleh pulang terlalu sore. Senang sekali rasanya! Aku pun merasakan bagaimana rasanya keluar bersama teman. Kami pergi mengelilingi kota, membeli makanan kaki lima, hingga mencoba mendatangi sebuah cafe kecil yang baru diresmikan.
Awalnya kegiatan kami tersebut terasa menyenangkan bagiku. Namun, ketika aku menyadari bahwa hanya aku satu-satunya yang tidak bisa mengendarai motor matic di antara teman-temanku, aku pun mulai merasa iri lagi. Aku sempat merasa sedikit minder karena hal itu.
Pada kesempatan selanjutnya, ketika teman-temanku mengajakku untuk keluar lagi, aku langsung menolaknya. Aku beralasan orang tuaku sudah tidak membolehkanku untuk keluar rumah terlalu sering. Padahal sebenarnya aku menolak karena aku merasa malu selalu menjadi beban untuk mereka. Bagaimana tidak? Merekalah yang selalu direpotkan, mulai dari proses perizinan, sampai rela untuk menjemput dan memboncengku dengan motor mereka. Mereka memang tidak pernah mengeluh, keberatan, dan semacamnya. Hanya saja aku merasa sedikit tak enak. Jadi, aku hanya dapat mengamati kegiatan jalan-jalan mereka melalui media sosial.
Hari-hari berjalan seperti biasa. Namun, sejak saat itu aku mulai berkeinginan untuk mencoba belajar mengendarai motor agar tidak terlalu tertinggal dari temanku yang lain. Aku bingung harus mulai belajar dari mana. Hingga pada suatu malam, entah mendapat keberanian dari mana, aku meminta kakak sepupuku yang saat itu menginap di rumahku untuk mengajariku mengendarai motor. Ya, benar, aku meminta diajarkan mengendarai motor di malam hari. Awalnya kakak sepupuku menolak, namun karena aku terus mendesak, ia jadi tak enak hati dan bersedia mengajariku malam itu juga.
Terasa susah awalnya untuk menyeimbangkan badan ketika baru mulai menjalankan motor dan ketika motor mulai berbelok, apalagi ditambah rasa gugup yang menguasai diri. Meski begitu, tak butuh waktu lama bagiku dalam belajar mengendarai motor saat itu. Aku merasa sangat antusias. Aku pun sudah mulai membayangkan bagaimana aku akan mengendarai motor saat keluar dengan teman-temanku nanti. Ah! Membayangkannya saja sudah cukup membuatku bahagia.
Awalnya orang tuaku tidak setuju dengan keputusanku belajar mengendarai motor ini. Namun, perlahan aku coba meyakinkan mereka bahwa aku akan berhati-hati saat belajar. Hari demi hari berlalu dan aku pun semakin lancar dalam mengendarai motor. Lalu, beberapa kali aku pergi bersama teman-teman dengan mengendarai motor sendiri seperti yang sebelumnya aku inginkan. Aku juga beberapa kali menggantikan ayah untuk mengantar ibu ke pasar dan menjemput ibu dari tempat kerja.
Aku merasa keputusanku untuk belajar mengendarai motor saat itu cukup menguntungkan karena aku tidak lagi terlalu membebani ayah untuk mengantar jemput ke sekolah maupun ke tempat lainnya. Kebetulan saat itu aku juga memiliki kegiatan yang cukup padat di sekolah. Kegiatan yang saat itu menjadi rutinitasku setiap minggu ialah mengikuti pembinaan olimpiade dan latihan drama untuk persiapan tampil di acara sekolah. Semakin hari kegiatanku semakin padat. Jadwal latihan dramaku juga bertambah mengingat waktu tampil kami yang sudah semakin dekat. Kami bahkan berlatih di hari libur juga.
Kemudian di suatu pagi di hari libur, aku meminta izin kepada ibuku untuk berlatih drama di sekolah. Ibuku mengizinkan dengan syarat aku harus segera pulang ke rumah jika latihan drama sudah selesai. Karena terburu-buru, aku pun dengan cepat mengiyakan syarat tersebut. Toh syaratnya tak susah. Aku hanya perlu pulang tepat waktu ketika latihan drama telah usai. Begitu pikirku.
Kami berlatih dengan giat dan semangat di hari itu. Kami memantapkan dialog dan gestur serta tak lupa membangun kerja sama yang baik. Latihan kami pun berakhir ketika azan zuhur berkumandang. Seusai kami latihan, salah satu teman yang bernama Sari mengajak kami untuk melepas penat dan dahaga di rumahnya yang kebetulan dekat dengan sekolah. Siang itu matahari sangatlah terik, jadi aku tak pikir panjang lagi dan langsung menyetujui ajakannya untuk beristirahat sebentar di rumahnya. Beberapa teman yang lain pun sepakat dengan ide itu.
Sesampainya di rumah Sari, kami sholat zuhur bergantian kemudian makan siang bersama. Tak ada yang aneh. Semua berjalan lancar, mengalir begitu saja. Aku merasa lebih dekat dengan mereka sejak kami rutin bertemu saat latihan drama. Selepas makan siang, kami melanjutkan agenda dengan bertukar cerita. Kami begitu bersemangat dalam agenda satu ini, seakan tidak pernah kehabisan bahan obrolan ketika sedang berkumpul.
Waktu ternyata sangat cepat berlalu ketika dihabiskan dengan teman-teman dekat. Aku terperanjat ketika melihat jam tanganku. Ya, waktu ashar akan segera tiba. Aku pun dengan terpaksa harus berpamitan pada Sari dan beberapa teman yang tampaknya belum ingin beranjak dari sana. Namun ternyata ada salah satu teman yang ingin pulang bersamaku, atau bahasa kerennya, nebeng. Sebut saja dia Fira. Aku dengan senang hati mengiyakannya karena kebetulan rumahku dan rumah Fira searah.
Di perjalanan pulang, entah mengapa aku tiba-tiba merasa gelisah. Aku menjadi tidak fokus dalam mengendarai motor. Padahal sebelumnya perut dan tenagaku sudah terisi. Harusnya aku bisa lebih fokus lagi.
Saat aku mencoba berusaha meningkatkan fokus berkendara, di depanku ada seorang ibu-ibu yang entah dari mana datangnya tiba-tiba menyeberang jalan. Refleks, aku tekan klakson berkali-kali dengan panik. Namun ibu-ibu tersebut tetap melanjutkan prosesi menyeberangi jalannya. Jarak kami dan ibu-ibu itu semakin dekat. Kudengar Fira berteriak tak jelas. Aku sudah kehilangan fokus karena panik sehingga tidak bisa mengendalikan kecepatan motor yang sejak awal memang melaju cukup cepat karena jalanan yang lengang sore itu.
DUARRRR!!!
Hitam. Gelap. Kosong.
Mataku langsung tertutup sebagai refleks benturan pada kepala yang aku rasakan.
Aku mematung sejenak, memproses apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti terjatuh dalam mimpi saat tidur sudah mulai nyenyak. Namun aku pun sadar hal ini bukanlah mimpi. Ini nyata! Jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya. Otakku mendadak bekerja dengan sangat lambat.
Suara kerumunan yang terdengar samar-samar perlahan membuatku membuka mata. Terlihat beberapa orang menghampiriku. Mereka, yang aku tak tahu siapa, membantu memindahkanku menuju tempat yang lebih aman. Mereka memindahkan motorku yang juga jatuh. Ketika duduk di tempat yang lebih aman, aku baru menyadari bahwa aku tidak bisa merasakan tangan dan kakiku. Aku langsung menyimpulkan sepertinya aku mengalami cedera karena tangan dan kakiku terasa berat dan sangat sakit saat berusaha kugerakkan meskipun tidak ada darah yang terlihat di sana. Hanya beberapa goresan kecil pada siku dan telapak tangan yang semakin lama terasa perih.
Kepalaku? terasa sedikit pusing dan berat. Syukurlah ada helm yang melindunginya. Aku perlahan membuka helm dengan susah payah. Terasa sangat gerah, namun tiba-tiba angin sejuk mendatangiku. Sebentar, mengapa tiba-tiba menjadi sejuk? Ternyata angin itu menerobos masuk melalui jilbab di bagian leherku yang sudah bolong. Ah! Rupanya akibat jilbabku yang bertegur sapa dengan aspal tadi.
Kemudian Fira? Di mana dia? Bagaimana keadaannya? Aku mencoba menengok ke belakangku. Berjarak sekitar 3 meter di belakang, terlihat Fira yang juga sedang dikerubungi orang asing sedang menangis dengan lutut dan sikunya yang sudah dipenuhi carian berwarna merah. Aku merasa sangat bersalah padanya. Andai saja saat itu dia tak ikut denganku, dia pasti tidak akan merasa kesakitan seperti itu.
Jangan tanya bagaimana kondisi ibu-ibu yang menyeberangi jalan tadi. Kulihat dia baik-baik saja, setidaknya secara fisik. Setelah kuingat lagi, ternyata kami terjatuh karena aku berusaha menghindari ibu-ibu tersebut, aku berusaha agar motorku tidak menabraknya. Aku masih kesal karena ia tak merespon suara klaksonku tadi. Kemudian ibu-ibu itu menghampiriku dan mengomeliku. Aku saat itu tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Bahkan rasa sakit yang ada di tubuhku rasanya sudah hambar tertutupi dengan rasa bersalah pada Fira.
Aku mencoba menjelaskan dengan perlahan apa yang terjadi sebelumnya kepada kerumunan yang ada. Aku menuruti saran mereka untuk meminta maaf kepada ibu-ibu tadi agar masalah cepat selesai. Tak lama setelah itu, datanglah Sari dan dua orang teman laki-laki yang tampaknya sengaja ia ajak untuk mendatangi aku dan Fira. Ternyata Fira langsung menghubungi Sari sesaat setelah kami terjatuh tadi.
Kami berdua pun dibawa kembali ke rumah Sari. Sari dan kedua teman laki-laki tadi mencoba menenangkan aku dan fira. Aku belum terlalu memikirkan diriku sendiri. Perasaan bersalah pada Fira masih sangat kuat mengalahkan rasa sakitku saat itu. Aku pun tak hentinya meminta maaf pada Fira. Ia sudah terlihat jauh lebih tenang dan justru ikut menenangkanku yang terlihat sangat panik.
Setelah membersihkan beberapa bagian pakaian dan tubuh yang kotor, kami pun mulai berdiskusi tentang bagaimana cara kami akan pulang ke rumah. Fira mengatakan bahwa ia akan dijemput oleh keluarganya. Sedangkan aku akan diantar oleh kedua teman laki-lakiku yang tadi. Satu orang memboncengku dengan motorku, satunya lagi mengendarai motor yang lain.
Dalam perjalanan pulang, aku mulai memikirkan kata apa yang harus aku gunakan kali ini untuk menjelaskan kejadian tadi pada orang tuaku. Sesampainya di rumah, teman laki-laki yang tadi memboncengku sedikit menjelaskan apa yang terjadi kepada ayahku. Terlihat tatapan ayah begitu khawatir saat melihatku masuk menuju rumah dengan langkah yang lemah. Rasa sakit pada pergelangan tangan dan kakiku semakin terasa ketika aku merebahkan tubuhku di atas kasur.
Tak lama kemudian ayah menghampiriku. Aku bersyukur saat itu beliau tidak langsung menginterogasiku. Beliau justru menanyakan apa yang aku rasakan, bagian tubuh mana yang sakit, dan memberikan kata-kata yang menenangkanku. Sedangkan ibu? Sepertinya beliau butuh lebih banyak waktu untuk menyiapkan diri melihat anak perempuannya kesakitan akibat kecelakaan.
Malam harinya, aku dibawa ke dokter dan tukang urut. Aku pasrah saja dibawa kemanapun, selain karena sudah tidak berdaya untuk bergerak banyak, aku yakin pilihan orang tuaku saat itu sudah pasti yang terbaik. Alhasil, tangan dan kakiku mendapatkan aksesoris berupa perban akibat kenangan bersama aspal itu. Aku juga harus mengonsumsi beberapa obat medis dari dokter. Hingga sekarang, aku mengakui bahwa saat itulah pertama kalinya aku merasakan tubuhku sakit begitu hebat.
Setelah kejadian itu, aku baru menyadari bahwa kecelakaan yang aku alami bisa saja terjadi karena aku yang tidak menuruti perkataan ibuku saat itu untuk langsung pulang sehabis latihan drama. Aku malah bersantai dan bercanda ria bersama teman-teman di rumah Sari. Ibuku hanya memberi izin keluar sampai latihan drama selesai. Jadi, seakan-akan apa yang aku lakukan setelah latihan drama tidak mendapat restu dari ibu. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi melanggar kesepakatan yang aku buat dengan orang tuaku, terutama ibu.
Sebenarnya ada begitu banyak bukti yang aku alami bahwa restu orang tua itu memengaruhi kelancaran hidup kita. Namun, kejadian kecelakaanku itu menjadi salah satu bukti terbesar yang aku alami sendiri dan tak akan pernah bisa aku lupakan. Pelajaran berharga lainnya yang aku dapatkan ialah, pembatasan yang orang tua tetapkan kepada kita dalam beberapa hal bukan semata menunjukkan kekangan dan larangan, namun sesungguhnya menunjukkan kekhawatiran dan kasih sayangnya pada kita.
Biarlah rasa sakit yang aku dapatkan saat itu menjadi pelajaran berharga bagi diriku sendiri di masa sekarang dan masa mendatang, serta tentunya bagi semua orang yang membaca cerita ini.